Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Petrus Reinhard Golose mengatakan angka prevalensi menggunakan narkoba di Indonesia meningkat saat pandemi Covid-19.”Kita ketahui bersama angka prevalensi drug abuse di Indonesia meningkat walaupun dalam suasana Covid-19. Jadi dari 1,8 persen menjadi 1,95 persen, berarti naik sekitar 0,15 persen walaupun dalam situasi Covid-19,” kata Petrus, saat ditemui di Auditorium Widya Sabha, Kampus Universitas Udayana, Kabupaten Badung, Bali, Minggu (19/6)(https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220619132526-12-810751/bnn-pengguna-narkoba-meningkat-selama-pandemi-covid-19)
Permasalahan narkotika telah membuat seluruh negara di dunia khawatir dan resah. United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) sebagai Badan dunia yang mengurusi masalah narkotika mencatat setidaknya ada 271 juta jiwa di seluruh dunia atau 5,5 % dari jumlah populasi global penduduk dunia dengan rentang usia antara 15 sampai 64 tahun telah mengkonsumsi narkoba, setidaknya orang tersebut pernah mengkonsumsi narkotika di tahun 2017 (sumber : UNODC, World Drugs Report 2019).
Rehabilitasi merupakan instrumen yang bertujuan untuk mewujudkan pemulihan dari ketergantungan narkotika dan mengembalikan keberfungsian sosial pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika di masyarakat. Dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat akan rehabilitasi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika.
Pada tahun 2019, BNN telah menyelenggarakan layanan rehabilitasi terhadap 13.320 orang dimana melebihi target yang telah diberikan yaitu sebanyak 10.300 orang, dengan rincian yaitu sebanyak 11.370 orang dengan rehabilitasi layanan rawat jalan dan 1.950 orang rawat inap. Dari jumlah tersebut yang mengikuti layanan pascarehabilitasi sebanyak 3.404 orang.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, mempunyai tujuan menjamin untuk tersedianya kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan, pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika, dan memberantas peredaran gelap narkotika. Penegakan hukum narkotika sudah sebagian diterapkan para aparat penegak hukum hingga sampai memperoleh putusan hakim dalam sidang pengadilan. Penegakan hukum sangat diharapkan bisa menangkal banyaknya peredaran perdagangan narkotika secara gelap , namun pada kenyataanya akan semakin intensif dilakukan penegak hukum, semakin membuat maraknya perdagangan narkotika secara gelap. Kejahatan narkotika (the drug trafficking industry), sudah menjadi bagian kelompok kegiatan organisasi-organisasi kejahatan transnasional (Sudarto, 2010).
Dalam kasusnya penyalahgunaan narkotika dilihat sebagai kejahatan yang luar biasa karena banyaknya masalah dalam penerapan proses rehabilitasi terutama untuk pecandu narkotika dalam menjalani proses hukum, Pasal 54 dan 56 yang diatur dalam Undang-Undang no 35 tahun 2009 tentang Narkotika telah memberi kewajiban pecandu untuk melakukan rehabilitasi. Dari rehabilitasi medis maupun sosial yang wajib dijalani pecandu narkotika yang diharapkan mampu membuat para pecandu kembali sehat produktif, terbebas dari perbuatan kriminal, dan hilangnya dari ketergantungan narkotika. Masa untuk menjalani rehabilitasi dihitung sebagai pengganti sanksi hukuman penjara. Rehabilitasi pecandu narkotika sudah bisa dikatakan untuk perlindungan sosial yang menjadikan pecandu narkotika untuk tidak lagi menggunakan narkotika dan menjauhi penyalahgunaan narkotika.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 127 ayat (3) menyebutkan bahwa penyalahguna sebagaimana yang tertera pada ayat (1), jika penyalahgunaan dapat dibuktikan sebagai korban penyalahgunaan narkotika, maka penyalahgunaan itu wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, namun fakta yang sering terjadi justru aparat penegak hukum memberi putusan dengan Pasal 112 yang seharusnya Pasal 112 itu diberikan terhadap pengedar bukan pecandu, karena pecandu itu hanyalah orang sakit yang seharusnya diobati bukan malah di penjara, jika pecandu tersebut di penjara justru akan membuat menggunakan narkotika kembali selepas keluar dari penjara, itu disebabkan karena ketergantungan narkotika itu tidak diobati atau rehabilitasi.
Dalam Prakteknya korban yang hendak mendapatkan hak rehabilitasi justru terhalang, namun bagi siapapun mereka yang hendak mendapatkan akses Rehabilitasi hal yang paling penting untuk dilakukan adalah untuk segera mendapatkan Penasehat Hukum/Advokat untuk mendampingi proses pemberian hak Rehabilitasi tersebut, karena hal ini sangat krusial apabila penerapan pasal yang dijatuhkan adalah pasal 112 yang pada dasarnya itu bukan pasal untuk para pecandu melainkan pengedar.
Pict Source: https://www.freepik.com/free-photo
/pills-stethoscope
-syringe_9185524.htm#query=drugs&position=2&from
_view=keyword